Menurutku
sahabat adalah seseorang yang lebih dari sekedar teman. Sahabat juga bisa
diartikan sebuah bayangan, selalu ada kemana pun kita melangkah. Sahabat yang
baik adalah sahabat yang berani membetulkan
kita ketika kita berbuat kesalahan sehingga kita tidak hanyut dalam
kesalahan dan dosa. Seorang sahabat yang baik juga harus mampu menurukan egonya
disaat sahabat-sahabatnya yang lain keras kepala. Dari semua ciri sahabat yang
baik, ada satu yang mewakili semuanya, yaitu apabila kita didekatnya maka hati
kita terasa tentram dan aman. Itulah yang aku temukan didiri Sulaiman. Sulaiman
mampu menjadi penentram sekaligus tembok yang mampu menjaga rasa aman. Sekaligus
menjadi orang yang mampu menghibur ku, mengajari disaat aku kesusahan, dan
membantu disaat aku merasa kebingungan. Sulaiman sangat ramah terhadap semua
orang, baik yang tidak dikenalnya maupun yang sudah akrab dengannya. Nada
bicaranya yang tinggi seolah-seolah membuat ia terlihat marah, padahal tidak sama
sekali. Dalam beberapa mata pelajaran kami juga sangat kompak, baik itu sebagai
rekan kerja sebangku, maupun tim/kelompok. Berita bahwa ia akan pindah sekolah
membuat ku merasa tak percaya. Dia
berencana pindah sekolah ke luar Kalimantan. Katanya sih ke Papua, entah itu
benar-benar di Papua atau malah Papua bohongan.
Kabar
kepergiannya itu berawal ketika pergantian jam pelajaran di kelas. Aku duduk
bersebelahan dengannya, tepat didepan meja guru. Dan 2 orang yang duduk
dibelakang kami namanya Ditya Anggraini dan Lidya Nanda Lestari. Seperti biasa
kami selalu mengobrol sebelum bapak/ibu guru datang. Tetapi hari itu Sulaiman
hanya duduk diam di bangkunya. Sikap Sulaiman yang aneh, membuat aku penasaran
dan terus bertanya-tanya “Apa yang
terjadi dengannya?” “Apakah ada yang salah dengan sikap saya kepadanya?”
Pertanyaan itu terus berputar di kepala ku. Ingin rasanya aku menanyakan
pertanyaan itu langsung ke Sulaiman, akan tetapi kebiasaan dia kalau ditanya
selalu menjawab “Yaa, tidak apa2”. Jadi
aku lebih memilih diam. Saat sedang asyik-asyiknya mengobrol, tiba-tiba
Sulaiman mencolek tangan ku. Sontak membuat ku terkejut
Saya : “Apa Lai?” (begitulah panggilan ku kepadanya)
Sulaiman : “Za, kalau suatu saat nanti aku tidak disini *menunjuk
bangkunya* kamu duduk dengan siapa Za?”
Tiba-tiba matanya berkaca-kaca,
seakan-akan mau menangis. Aku pun terkejut. Lalu menanyakan keadaan yang
sebenarnya?
Saya
: “ Emangnya kenapa lai?” “Ada
apa Sulai? Ada apa???”
Dengan satu tarikan nafas, lalu dia
mengatakan satu kalimat yang sampai sekarang terus aku
ingat.
Sulaiman : “Aku mau pindah sekolah Za…”
Kemudian
air matanya bercucuran. Raut mukanya tampak sedih.
Saya : “Ahh jangan bercanda kamu Lai”
Sulaiman : “Iya..serius! Aku benar-benar akan pindah sekolah!!!”
Saya : “Ahh ini palingan cuma acting mu saja Lai. Kan kamu
suka bohong sama aku?!”
Sulaiman : “Apa yang harus aku bohongi Za? Seperti apa lagi aku harus
menjelaskannya?!”(beberapa kali Sulaiman mencoba meyakinkan ku, sampai pada
akhirnya aku pun percaya)
Saya : “Kapan kamu
pindahnya?” jawab saya sambil meneteskan air mata.
Sulaiman : “Aku masih tidak tahu, tapi yang pasti setelah akhir semester
1 Za”
Saya : “Kenapa kamu pindah sekolah? Dan Kemana kamu akan
pindah?“
Sulaiman : Aku juga tidak tahu Za. Katanya sih ke
daerah Timur.
Sulaiman : “Za, tolong yaa jangan beritahu ini kesemua orang, hanya teman
dekat saja yang boleh tahu. Janji ya?
Saya : “Ya janji!”
Tiba-tiba hidung
Sulaiman mengeluarkan darah/mimisan. Aku pun langsung mencarikan tisu. Nah disaat
itu lah beberapa orang didalam keras terkejut dan tahu akan kepindahan
Sulaiman. Setelah aku dapatkan tisu lalu aku berikan kepada Sulaiman dan Sulaiman
mencoba membersihkan sendiri darah yang ada dihidungnya. Beberapa kali dia
harus bolak-balik keluar kelas untuk membersihkan sisa darah yang masih
menempel. Akhirnya hidung Sulaiman tidak mengeluarkan darah lagi. Akan tetapi
air matanya terus menetes, raut wajahnya masih tampak sedih. Satu bulan kemudian berita kepergiannya
diketahui semua orang. Kebetulan Sulaiman salah satu anggota OSIS. Jadi seluruh
anggota OSIS pun juga mengetahui kepergiannya. Mereka masih tidak percaya kalau
salah satu anggota yang paling mereka sayangi, akan pergi meninggalkan mereka.
Nampak sekali bahwa Sulaiman begitu dicintai oleh teman-temannya. Pertanda
bahwa dia membawa dampak positif bagi orang-orang disekitarnya.
Berbicara mengenai kenangan, tentu sangat banyak sekali
kenangan kami berdua. Dari sekian banyak kenangan ku bersama Sulaiman. Ada satu
peristiwa yang membuat aku bangga kepadanya. Peristiwa itu terjadi saat mata
pelajaran Sejarah. Rencananya hari itu guru yang bersangkutan akan mengumumkan nilai
Ulangan Tengah Semester. Dengan penuh semangat aku dan Sulaiman menunggu
pengunguman itu. Pengunguman itu tidak disertai dengan penyebutan nilai, jadi hanya
disebutkan nama-nama yang mendapat remedial dan yang tuntas saja . Setelah
diumumkan, ternyata cuma beberapa orang yang tidak remedial, aku dan Sulaiman termasuk
yang mendapat remedial. Tidak ada bayangan atau tanda-tanda sedikitpun bahwa
kami harus mendapat remedial. Selama ini kami berdua selalu mendapatkan nilai
yang sempurna. Lalu guru yang bersangkutan mengungkapkan kekecewaannya kepada
kami semua. “Saya bingung kenapa kelas
ini masih banyak yang mendapat remedial, apakah soalnya sulit? Tentu tidak,
karena masih ada saja yang nilainya tuntas!” kata guru yang bersangkutan dengan nada bicara yang tinggi. Aku dan
Sulaiman waktu itu hanya menundukkan kepala, menyimpan rasa malu diwajah.
Tiba-tiba guru yang bersangkutan menoleh kearah ku, lalu beliau mengatakan
secara terang-terangan dihadapan semua teman-teman ku.
“Reza, kenapa nilai kamu jadi 60?”
“Masa sih bu?”
“Kamu
merasa gak sih?....merasa gak? Ohh tidak merasa…ya sudah!”
Belum sempat aku
menjawab, beliau sudah memvonis begitu saja dihadapan semua orang. Padahal
janji beliau diawal tidak ingin memberitahu nilai yang mendapatkan remedial.
Pada kenyataannya beliau membeberkan nilai ku dihadapan semua teman-teman yang
ada didalam kelas. Entah mau diletakkan dimana muka ku saat itu. “Sudah jatuh tertimpa tangga pula!”. Setelah
mengungkapkan kekecewaannya, beliau pun akhirnya melanjutkan pembelajaran
seperti biasa. Aku merasa malu pada diriku sendiri juga kepada semua orang. Ingin rasanya aku keluar kelas!
Satu
jam kemudian bel berbunyi, tanda jam pelajaran beliau telah habis. Sebelum
beliau keluar dari kelas, kalau tidak salah beliau meminta Sulaiman untuk mengantarkan
buku ke atas meja kantor beliau. Aku sangat heran, biasanya beliau selalu minta
bantuanku. Tetapi waktu itu malah Sulaiman yang disuruh. Aku tidak merasa iri,
juga tidak marah kepada Sulaiman. Malah aku sangat bersyukur bebanku mulai
berkurang. Tidak lagi bolak-balik kesana-kemari.
Tidak lama kemudian Sulaiman datang, lalu menghampiri ku dan menceritakan apa
yang telah terjadi ketika dia mengantarkan buku beliau ke meja.
Sulaiman
: “Za, setelah keluar dari kelas tadi, kamu tidak tau kan kalau aku dan beliau
membicarakan mu diluar?”
Saya
:“Membicarakan apa?”
Sulaiman
: “Beliau ngomong gini ke aku za ‘Man..kenapa nilai kamu sama persis dengan
Reza?!’ ‘Hah? Saya tidak tahu, saya tidak menyontek Reza dan Reza pun tidak
menyontek saya bu!”
Sulaiman
: “Perlu ibu ketahui bahwa Reza itu punya prinsip, tidak mau menyontek kalau
lagi ulangan dan kalau dia tidak bisa mengerjakannya yaa…dia apa adanya bu!”
Saya
: “Terus beliau jawab apa lagi ke
kamu lai?”
Sulaiman
: “Beliau hanya diam saja za!”
Saya : “Hm…saya
heran, kok beliau bisa-bisanya berprasangka buruk sama kita? Padahal kita tidak
salah apa2..”
Sulaiman
:“Ya susah kalau guru udah kaya gitu za…”
Saya :
“Bener tuh!”
Selepas pulang sekolah,
barulah aku terpikirkan mengenai kejadian tadi siang.“Bagaimana seandainya kalau bukan Sulaiman yang membela aku tadi siang?
Bagaimana kalau bukan Sulaiman yang menceritakan peristiwa yang sebenarnya? Beruntung
sekali aku mempunyai sahabat sebaik Sulaiman. Menyampaikan kebenaran, bukan
kebohongan! Inilah orang yang bisa aku katakan sahabat. Membela ku disaat
orang lain mengatakan yang tidak benar tentang kita.
Begitulah sifat Sulaiman yang sebenarnya. Sosoknya yang suka
menolong, membuat dia dicintai banyak orang. Entah bagaimana aku membayangkan
kalau semester 2 nanti, Sulaiman sudah tidak ada lagi. Mungkin aku disini hanya
duduk diam, sambil membayangkan tingkahmu yang lucu dan tawamu yang kha itu.
Hanya satu peninggalanmu yang mungkin akan terus aku ingat, yaitu kursimu
yang sudah pengkor itu. Itulah yang akan menjadi obat kerinduanku. Sesekali
aku akan duduk di kursimu, lalu membayangkan kamu sedang duduk disampingku,
meskipun itu hanya sebuah khayalan. Akan tetapi itu sudah cukup untuk mengobati
kerinduan ku. Sesuai permintaanmu Muzakir lah yang
akan duduk disampingku nanti. Barangkali aku akan sering berbeda pendapat
dengannya. Akan tetapi aku akan mencoba menyesuaikannya. Perlu kamu ketahui
Sulaiman, saat aku mengetik paragraf terakhir ini, air mata ku menetes.
Perasaan kehilangan begitu mendalam, rasanya separuh kebahagiaanku telah
hilang. Benarkah sahabatku selama ini Sulaiman, akan pindah sekolah? Bagaimana
nasib aku nanti kalau tidak ada dia? Tidak ada keceriaan, tidak ada bahan
olok-olokan, tidak ada lagi orang yang mau mengajari ku Matematika sesabar
seperti mu. Kenapa kamu pergi disaat kita bersama-sama berjuang meraih
kesuksesan? Benar kata orang “Setiap yang namanya pertemuan pasti ada
perpisahan” Perpisahan ini akan menjadi ujian bagi kesabaran dan kekuatan tali
persahabatan kita berdua. Pesan ku tidak banyak “Jangan pernah menyerah atas segala cobaan hidup ini. Sulaiman, ku
tunggu kesuksesanmu 10 tahun dari sekarang. Entah kapan Allah SWT mempertemukan
kita, akan tetapi aku percaya bahwa suatu saat nanti kita pasti
bertemu. Kamu pernah kan bilang sama aku bahwa kamu ingin jadi dokter? Nah
wujudkan cita-citamu itu dan doakan juga aku supaya sukses menjadi orang besar
yang dihargai dan dihormati. Tetaplah kamu menjadi orang jujur, ramah, rendah
hati dan suka menolang, agar hidupmu berkah. Jaga nama baik orangtuamu, banggakan
mereka! Kalau ada waktu mampir yaa ke rumahku. Walau jarak kita jauh, tetapi
hati kita selalu dekat. Selamat tinggal dan salam cinta dari sahabatmu ini yang
bernama Muhammad Reza Adhari” – KAMU LAH SAHABAT SEJATIKU, SULAIMAN!
End